Jumat, 19 Oktober 2012

rinduku


Ayahku inspirasiku
by Farida Kusumaningrum



Terbesit wajah ,lama tak bertemu
Tapi Lama terukir dalam kalbu
Mewarnai hidupku
Mengisi hari-hariku
Walaupun tak menemani hingga dewasaku
Dan di akhir hidupku

Beliau  meninggalkan kenangan
Hingga berbuah kesenangan
Rasa rindupun aku ungkapkan
Lewat kata-kata tak bermakna
Itupun tak tersampaikan
Mungkin hanya secercah harapan terkabulkan

Bayanganmu
Senyumanmu
Ajaranmu
ketegaranmu
tuturkata lembutmu
Itulah bekal dalam hidupku
Ayahku engkaulah inspirasiku


Rabu, 03 Oktober 2012


PENGENDAPAN PROTEIN PLASMA


Dasar teori
            Penelitian farmakokinetik melibatkan penentuan kadar obat dalam sampel biologis. Metode analisis yang digunakan untuk penentuan kuantitatif kadar obat dalam suatu sampel biologis merupakan hal yang sangat penting dalam evaluasi dan interpretasi data farmakokinetika.
            Berbagai sampel biologis dapat diambil untuk penentuan kadar dalam tubuh untuk penelitian farmakokinetik, sebagai contoh darah, urine, feses, saliva, jaringan tubuh, cairan blister, cairan spinal dan cairan sinovial.
            Penentuan kadar suatu obat dalam sampel biologis merupakan hal yang kompleks disebabkan sampel biologis pada umumnya merupakan suatu matriks yang kompleks. Jika suatu obat atau metabolitnya dalam sampel biologis dapat dianalisa langsung tanpa perlu dilakukan perlakuan awal terhadap sampel yang diperoleh maupun pemisahan obat atau metabolit yang ditentukan maka hal ini merupakan suatu hal yang menguntungkan. Akan tetapi perlakuan awal sampel maupun isolasi obat atau metabolit yang akan ditentukan dari matriks biologis yang diperoleh harus dilakukan.
            Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan perlakuan awal sampel maupun metode untuk memisahkan atau mengisolasi obat dan/atau metabolitnya adalah tahapan dari prosedur yang dipilih harus seminimal mungkin untuk menghindari kehilangan obat dari obat atau metabolit yang akan ditentukan. Semakin panjang tahapan prosedur untuk perlakuan awal maupun untuk memisahkan atau mengisolasi obat atau metabolitnya makin besar kemungkinan hilangnya obat atau metabolit yang akan ditentukan sepanjang prosedur yang dilakukan.
            Darah merupakan sampel biologis yang paling umum digunakan dan mengandung berbagai komponen seluler seperti sel darah merah, sel darah putih, platelet,dan berbagai protein seperti albumin dan globulin. Pada umumnya bukan darah utuh (whole blood) tetapi plasma ataupun serum yang digunakan untuk penentuan kadar obat. Serum diperoleh dengan membiarkan darah untuk menggumpal dan supernatant yang dikumpulkan setelah sentrifugasi  adalah serum. Sedangkan plasma diperoleh dengan penambahan antikoagulan pada darah yang diambil dan supernatant yang diperoleh setelah sentrifugasi merupakan plasma. Jadi, plasma dan serum dibedakan dari protein yang dikandungnya.
            Adapun kandungan protein dalam sampel biologis yang akan dianalisa menyebabkan dibutuhkannya suatu tahap perlakuan awal dan/atau penyiapan sampel sebelum penentuan kadar obat dapat dilakukan. Hal ini untuk mengisolasi atau memisahkan obat yang akan diteliti dari matriks sampel yang diperoleh. Protein, lemak, garam dan senyawa endogen dalam sampel akan mengganggu penentuan kadar obat yang bersangkutan dan selain itu dalam hal analisa menggunakan metode seperti HPLC adanya zat-zat tersebut dapat merusak kolom HPLC sehingga usia kolom menjadi lebih singkat.
            Berbagai prosedur untuk mendenaturasi protein dapat digunakan sebagai perlakuan awal sampel biologis yang diperoleh dari suatu oenelitian farmakokinetik, meliputi penggunaan senyawa yang disebut sebagai zat pengendap protein (protein precipitating agent) seperti asam tungstat, amonium sulfat, asam trikoroasetat (tricloro acetic acid, TCA) asam perklorat, methanol dan asetonitril. Pengendapan protein dilakukan dengan denaturasi protein. Denaturasi dapat dilakukan akibat adanya perubahan pH, temperature, dan penambahan senyawa kimia. Cara denaturasi protein yang umum digunakan adalah dengan penambahan precipitating agent. Protein dapat diendapkan karena memiliki berbagai sifat diantaranya bersifat sebagai amfoter yakni memiliki 2 muatan yang berlainan dalam 1 molekul, atau yang dikenal juga sebagai zwitter ion. Sifat ini membuat potein memiliki muatan yang berbeda pada pH yang berbeda pula. Akibatnya protein dapat larut pada rentang pH tertentu dimana protein bermuatan. Suatu saat di pH tertentu protein akan mencapai titik isoelektrik, yakni pH dimana jumlah total muatan protein sama dengan nol (muatan positif sebanding dengan muatan negatif), hal ini akan mempengaruhi kelarutan protein. Pada titik isoelektrik, kelarutan protein sangat rendah, sehingga potein dapat mengendap.
            Selain itu, protein juga dapat membentuk ikatan dengan logam dimana beberapa asam amino dapat terikat pada satu logam sehingga molekulnya menjadi besar, beratnya juga menjadi besar sehingga potein mengendap. Selain itu terdapat juga beberapa sifa lain yang berhubungan dengan presipitasi protein ini yang dijelaskan pada mekanisme pengendapan oleh masing-masing reagen.
            Penggunaan pelarut organik seperti methanol dan asetonitril sebagai zat pengendap protein sangat umum digunakan terutama yang melibatkan metode analisis HPLC. Pengendapan ini berkaitan dengan pI protein, dimana semakin jauh dari titik isoelektrik maka kelarutan akan semakin meningkat dan semakin dekat dengan titik isoelektrik maka kelarutan akan semakin menurun. Penambahan larutan organik seperti metanol ataupun asetonitril pada larutan protein dalam air akan menurunkan Kd (Konstanta Dielektrik) pelarut/air yang meningkatkan tarikan antara molekul-molekul bermuatan dan memfasilitasi interaksi elektrostatik protein. Selain itu pelarut organik ini juga akan menggantikan beberapa molekul air di sekitar daerah hidrofob dari permukaan protein yang berasosiasi dengan protein sehingga menurunkan konsentrasi air dalam larutan dengan demikian kelarutan protein akan menurun dan memungkinkan terjadinya pengendapan. Penggunaan methanol dan asetonitril mempunyai suatu keuntungan karena kompabilitasnya dengan berbagai eluen yang digunakan dalam metode HPLC.
            Metode isolasi atau pemisahan obat yang banyak digunakan dalam penelitian farmakokinetik adalah ekstraksi padat-cair (solid-phase extraction) dan ekstraksi cair-cair. Ekstraksi padat-cair menggunakan cartridge khusus untuk memisahkan obat dari sampel dengan volume relatif lebih kecil (0.5-1mL) yang tersedia secara kom ersial dengan harga yang cukup mahal. Ekstraksi cair-cair merupakan suatu metode yang paling banyak digunakan karena relatif cepat,simpel, dan murah dibandingkan dengan ekstraksi padat-cair. Baik metode ekstraksi cair-cair maupun padat-cair pada umumnya diikuti dengan proses pemekatan obat yang akan dianalisa. Pemilihan pelarut pengekstraksi dalam ekstraksi cair-cair harus didasarkan pada sifat fitokimia obat maupun metabolit yang akan diisolasi. Berbagai faktor dapat menjadi pertimbangan dalam seleksi pelarut yang akan digunakan antara lain:
·         Immisible (tidak bercampur) dengan air.
·         Mempunyai kemampuan melarutkan obat yang diinginkan dalam jumlah yang besar sehingga memberikan nilai recovery yang besar.
·         Mempunyai titik didih yang relatif rendah sehingga waktu evaporasi pelarut dapat lebih singkat.
·         Sedapat mungkin volume yang digunakan untuk ekstraksi adalah minimal sehingga akan menekan biaya yang dikeluarkan.
·         Jika memungkinkan gunakan pelarut dengan berat jenis yang lebih kecil dari berat jenis air sehingga proses pemisahan pelarut organik akan lebih mudah karena pelarut organik akan berada pada lapisan atas.
            Dalam proses ekstraksi tentu saja diharapkan perolehan kembali (recovery) obat yang akan diteliti dari matriks sampel yang diperoleh adalah sebesar mungkin, jika mungkin adalah 100%. Berbagai pendekatan dapat digunakan untuk mendapatkan perolehan kembali yang sempurna, seperti penggunaan volume pelarut pengekstraksi dalam jumlah yang besar ekstraksi berulang (repeat extraction) atau ekstraksi bertahap (multistep extraction). Pada ekstraksi berulang sampel yang sama diekstraksi beberapa kali menggunakan pelarut baru sampai seluruh obat terekstraksi. Sedangkan pada ekstraksi bertahap dilakukan beberapa tahap ekstraksi menggunakan pelarut dengan pH yang berbeda. Akan tetapi 100% perolehan kembali pada umumnya tidak dapat diperoleh sehingga perlu ditentukan perolehan kembali yang optimal dengan mempertimbangkan jumlah obat telah cukup terekstraksi untuk memenuhi sensitifitas analisa, jumlah pelarut yang digunakan berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan dan juga waktu untuk melakukan keseluruhan proses ekstraksi termasuk evaporasi pelarut organik yang diperoleh. Perolehan kembali obat dari matriks biologis sampai serendah 50% masih dapat diterima dengan catatan parameter lain seperti sensitifitas,  presisi, akurasi dan selektifitas memenuhi standard umum yang berlaku.

Alat dan bahan
Alat :
1.      Vortex
2.      Sentrifus
3.      Rotari evaporator vakum
4.      Tabung ependorf
5.      µL Pipet

Bahan :
1.      Zat pengendap protein (TCA, Metanol, Asetonitril)
2.      Plasma

 Prosedur Kerja
A.    Presipitasi Protein I
a.       Pipet 500 µL plasma blanko ke dalam tabung ependorf.
b.      Tambahkan zat pengendap protein yang tersedia dengan perbandingan yang sesuai
c.       Vortex selama ± 15 detik
d.      Sentrifus dengan kecepatan 10.000 g selama 2 menit
e.       Amati supernatant dan endapan yang diperoleh dan bandingkan hasil yang diperoleh menggunakan berbagai zat pengendap protein yang digunakan.
f.       Pisahkan supernatant yang diperoleh.
B.     Ekstraksi cair-cair
a.       Pipet 500 µL olasma balanko ke dalam 3 tabung sentrifus
b.      Tambahkan pelarut pengekstraksi : asetonitril sebanyak 1 ml ke dalam tabung 1 dan metanol sebanyak 1 ml ke dalam tabung 2 kemudian vortex 15 detik.
c.       Sentrifus dengan kecepatan 3500 g selama 5 menit.
d.      Pisahkan supernatant yang diperoleh ke dalam tabung sentrifus yang baru.
e.       Tambahkan TCA kesetiap tabung sebanyak 1 mL.
f.       Sentrifus dengan kecepatan 3500 g selama 5 menit.
g.      Uapkan pelarut organik di bawah vakum.

Data Pengamatan
A.    Presipitasi Protein                                                       B.  Exraksi Cair-cair
Semple
Absoban
Panjang
Gelombang
Metanol
2,5
229 nm
Asetonitril
2,32
214 nm
TCA
1,29
273 nm
Semple
Absoban
Panjang
Gelombang
Metanol
0.4
272 nm
dan TCA
Asetonitril
0.3
270 nm
dan TCA







Pembahasan
Pada percobaan kali ini, digunakan sampel plasma blanko dan zat pengendap protein atau pelarut organik  yaitu  metanol, TCA (tri cloro asetat) dan asetonitril. Metode yang digunakan adalah ekstraksi cair-cair. Langkah awal yang dilakukan dalam percobaan ini adalah presipitasi protein dengan mencampurkan 100 µL plasma blanko dengan ke tiga zat pengendap protein yang ada yaitu metano,TCA, dan Asetonitril. Setelah dicampurkan ke dalam 3 tabung ependrof  yang berbeda lalu sediaan itu divortex selama 15 menit dan disentrifuge selama 2 menit dengan kecepatan 10.000 g dengan tujuan ketika disentrifuga (dipusingkan) dengan kecepatan tinggi, maka komponen-komponen penyusun darah itu akan terpisah ke dalam lapisan-lapisan. Komponen lebih berat (bagian padat seperti sel-sel darah) didorong ke dasar tabung. Sementara yang lebih ringan seperti plasma terapung di lapisan atas. Lalu pisahkan supernatan yang diperoleh dengan tabung yang baru lagi, selanjutnya dihitung nilai absorban dari tiap tabung dengan spektrofotometer.
Selanjutnya langkah berikut dengan metode ekstraksi cair-cair,pipet 500 µL plasma lalu masukkan ke dalam tabung sentrifuge, tambahkan dengan zat pengekstraksi 1 mL Asetonitril ke dalam tabung 1 dan 1 mL metanol ke dalam tabung 2. Sediaan tersebut divortex selama 15 menit dan disentrifuge dengan kecepatan 3500 g selama 5 menit, pisahkan supernatan ke dlam tabung baru lalu tambahkan TCA ke setiap tabung sebanyak 1 mL, sentrifuge lagi dengan kecepatan dan waktu yang sama. Selanjutnya dipisahkan lagi supernatan yang diperoleh ke dalam tabung yang baru. Selanjutnya dihitung nilai absorbannya dengan spektrofotometer.
Setelah dihitung nilai absorbansinya diperoleh data sebagai berikut ; plasma adalah dengan zat pengendap protein tricloro asetat karena mempunyai niali absorbansi yang paling kecil yaitu 1,3 sedangkan untuk metanol nilai absorbansinya 2,5 dan asetonitril nilai absorbansinya 2,31. Untuk yang ekstraksi cair-cair diperoleh nilai absorbansi metanol + TCA yaitu 0,4 sedangkan Asetonitril +TCA adalah 0,3.
Hal ini membuktikan bahwa, semakin tinggi nilai absorbansinya maka makin banyak kadar protein yang ada di dalam sediaan tersebut. sedangkan pada praktikum kali ini diharapkan denaturasi pada protein (yang menunjukkan nilai absorbansi yang paling rendah) dan dari data, bahwa TCA adalah pelarut organik atau zat pengendap protein yang paling baik karena nilai absorbansinya paling kecil yaitu 1,3. Karena  TCA dapat  menghentikan jalannya reaksi hidrolisis dengan cara mendenaturasi enzim karena sifat TCA adalah asam. Reagen ini menghentikan reaksi enzimatis karena sifatnya yang asam sehingga enzim menjadi inaktif dan kehilanagan fungsi katalitiknya. Sedangkan untuk ekstraksi cair-cair diperoleh zat yang paling baik adalah asetonitril dengan TCA yaitu 0,3. Ini membuktikan pada praktikum ini bahwa menggunakan 2 pelarut organic lebih efektif untuk mengendapkan protein
Protein dapat diendapkan karena memiliki berbagai sifat diantaranya bersifat sebagai amfoter yakni memiliki 2 muatan yang berlainan dalam 1 molekul, atau yang dikenal juga sebagai zwitter ion. Sifat ini membuat protein memiliki muatan yang berbeda pada pH yang berbeda pula. Akibatnya protein dapat larut pada rentang pH tertentu dimana protein bermuatan. Suatu saat di pH tertentu protein akan mencapai titik isoelektrik, yakni pH dimana jumlah total muatan protein sama dengan nol (muatan positif sebanding dengan muatan negatif), hal ini akan mempengaruhi kelarutan protein. Pada titik isoelektrik, kelarutan protein sangat rendah, sehingga potein dapat mengendap.
Selain itu, protein juga dapat membentuk ikatan dengan logam dimana beberapa asam amino dapat terikat pada satu logam sehingga molekulnya menjadi besar, beratnya juga menjadi besar sehingga potein mengendap. Selain itu terdapat juga beberapa sifat lain yang berhubungan dengan presipitasi protein ini yang dijelaskan pada mekanisme pengendapan oleh masing-masing reagen. Karena sesungguhnya TCA itu adalah agen presipitasi atau agen pengendapan yakni ion negatif dari TCA akan bergabung dengan protein yang sedang berada pada kondisi sebagai kation (pH larutan dalam kondisi asam hingga pH isoelektrik protein) hingga membentuk garam protein. Beberapa garam yang dihasilkan tersebut tidak larut dengan demikian metode ini dapat digunakan untuk memisahkan protein dari larutan. Umumnya agen presipitasi akan melarut sedangkan garam protein akan terdekomposisi dengan adanya penambahan basa (membentuk protein yang bermuatan negatif atau anionic protein).
Metanol dan Asetonitril juga merupakan pelarut organik yang dapat mengendapkan protein. Pengendapan ini berkaitan dengan pH protein, dimana semakin jauh dari titik isoelektrik maka kelarutan akan semakin meningkat dan semakin dekat dengan titik isoelektrik maka kelarutan akan semakin menurun. Penambahan larutan organik seperti metanol ataupun asetonitril pada larutan protein dalam air akan menurunkan Kd (Konstanta Dielektrik) pelarut/air yang meningkatkan tarikan antara molekul-molekul bermuatan dan memfasilitasi interaksi elektrostatik protein. Selain itu pelarut organik ini juga akan menggantikan beberapa molekul air di sekitar daerah hidrofob dari permukaan protein yang berasosiasi dengan protein sehingga menurunkan konsentrasi air dalam larutan dengan demikian kelarutan protein akan menurun dan memungkinkan terjadinya pengendapan. Pada hasil percobaan diperoleh bahwa keefektifan pelarut organik metanol lebih besar dibandingkan dengan asetonitril.
Ekstraksi cair-cair merupakan salah satu metode untuk melakukan pengendapan protein, Proses ini digunakan secara teknis dalam skala besar misalnya untuk memperoleh vitamin, antibiotika, bahan-bahan penyedap, produk-produk minyak bumi dan garam-garam, logam. Proses inipun digunakan untuk membersihkan air limbah dan larutan ekstrak hasil ekstraksi padat cair.
Ekstraksi cair-cair terutama digunakan, bila pemisahan campuran dengan cara destilasi tidak mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan aseotrop atau karena kepekaannya terhadap panas) atau tidak ekonomis. Seperti ekstraksi padat-cair, ekstraksi cair-cair selalu terdiri atas sedikitnya dua tahap, yaltu pencampuran secara intensif bahan  pada saat pencampuran terjadi perpindahan massa, yaitu ekstrak meninggalkan pelarut yang pertama (media pembawa) dan masuk ke dalam pelarut kedua (media ekstraksi). Sebagai syarat ekstraksi ini, bahan ekstraksi dan pelarut tidak saling melarut (atau hanya dalam daerah yang sempit). Agar terjadi perpindahan masa yang baik yang berarti performansi ekstraksi yang besar haruslah diusahakan agar terjadi bidang kontak yang seluas mungkin di antara kedua cairan tersebut. Untuk itu salah satu cairan distribusikan menjadi tetes-tetes kecil (misalnya dengan bantuan perkakas pengaduk).


Kesimpulan
1.     Protein dapat mengganggu dalam penentuan kadar obat dalam proses analisa.
2.     Protein dapat merusak kolom HPLC.
3.     Semakin tinggi absorbansi maka semakin tinggi pula kadar protein di dalam larutan
4.     Zat pengendap protein paling baik adalah TCA (tricloro asetat) dengan nilai absorbansi sebesar 1,3.
5.     Campuran zat protein yang paling baik adalah asetonitril dengan TCA dengan nilai absorbansi  0,3.
6.     Campuran zat pengendap lebih efektif dalam mendenaturasi protein daripada menggunakan zat pengendap secara tunggal.

Daftar Pustaka
Anna Poedjiadi, 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Penerbit UI-Press: Jakarta.
Lehninger.A.L, 1995. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga, Jakarta
Winarno, F. G., 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit Gramedia: Jakarta.





Sabtu, 29 September 2012

analgesik



ANALGETIK DAN HUBUNGAN DOSIS RESPON

I.                   TUJUAN
Setelah menyelesaikan praktikum ini, mahasiswa diharapkan :
1.      Mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek analgesic suatu obat.
2.      Mampu mengobservasi dan menyimpulkan perubahan respon akibatpemberian berbagai dosis analgetika.
3.      Mampu membuat kurva hubungan dosis respon.

II.                DASAR TEORI

Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan, berhubungnan dengan adanya potensi kerusakan jarinngan atau kondisi yang menggambarkan kerusakan tersebut.Keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit kepala atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri.Nyeri yang dimilliki setiap orang berbeda-beda. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni 44-450 C. mediator nyeri antara lain mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas dikulit, mukosa, dan jaringan lainnya. Nouceptor ini terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan yang hebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sinaps yang sangat banyak melalui sum-sum tulang belakang, sum-sum lanjutan dan otak tengah.Dari thalamus impuls dilanjutkan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri.
Adapun mediator nyeri yang disebut juga autakoid antara lain serotonin, histamine, bradikinin, lekotrien dan prostaglandin. Bradikinin merupakan polipeptida (rangkaian asam amino) yang diberikan dari protein plasma .Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkatan dimana nyeri dirasakan untuk yang pertama kali.Jadi, intensitas rangsangan yang terendah saat seseorang merasakan nyeri.Untuk setiap orang, ambang nyeri adalah konstan.
Obat yang digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, dan akhirnya memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita disebut ddengan analgetik.Analgetik juga merupakan zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghalangi kesadaran.
Berdasarkan efek farmakologisnya, analgetika dapat dibagi dalam 2 kelompok besar :
1.      Analgetika perifer (non-nakotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Obat Analgesik Non-Nakotik dalam Ilmu Farmakologi juga sering dikenal dengan istilah Analgetik/Analgetika/Analgesik Perifer. Penggunaan Obat Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik Non-Narkotik / Obat Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna (berbeda halnya dengan penggunanaan Obat Analgetika jenis Analgetik Narkotik).
2.      Analgetika sentral (narkotik), khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada froctura dan kanker. Obat Analgetik Narkotik merupakan kelompok obat yang memiliki sifat opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri yang hebat. Meskipun terbilang ampuh, jenis obat ini umumnya dapat menimbulkan ketergantungan pada pemakai. Obat Analgetik Narkotik ini biasanya khusus digunakan untuk mengahalau rasa nyeri hebat, seperti pada kasus patah tulang dan penyakit kanker kronis.
Prinsip pengujian efek analgetik secara eksperimental pada hewan percobaan adalah mengukur kemampuan obat untuk menghilangkan atau mencegah kesadaran sensasi nyeri yang ditimbulkan secara eksperimental, yang timbul dengan cara-cara fisik ataupun cara-cara kimia.Metode yang digunakan pada percobaan kali ini adalah metode jentik ekor (Tail Flick) dan metode pelat panas (Hot Plate).Obat analgetik yang digunakan adalah tramadol dan novalgin.

Tramadol
Tramadol adalah analog kodein sintetik yang meruapakan agonis reseptor μ yang lemah.Sebagian dari efek analgetiknya ditimbulkan oleh inhibisi ambilan norepinefrin dan serotonin.Tramadol sama efektif dengan morfin atau mepedrin untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Untuk nyeri persalinan tramadol sama efektif dengan mepedrin dan kurang menyebabkan depresi pernapasan pada neonates.
Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral 68% dan 100% bila digunakan secara IM. Afinitas terhadap reseptor μ hanya 1/6000 morfin, akan tetapi metabolit utama hasil demetilasi 2-4 kali lebih poten dari obat induk dan berperan untuk menimbulkan efek analgetiknya. Preparat tramadol merupakan campuran rasemik, yang lebih efektif dari masing-masing enansiomernya.Enansiomer (+) berikatan dengan reseptor μ dan menghambat ambilan serotonin.Enansiomer (-) menghambat ambilan norepinefrin dan merangsang reseptor α2- adrenergik. Tramadol mengalami metabolism di hati dan eksresi oleh ginjal,dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan 7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam stetelah penggunaaan secara oral, dan mencapai puncak selama 2-3 jam.Lama analgesia selama sekitar 6 jam.Dosis maksimum per hari yang dianjurkan adalah 400 mg.
Efek samping yang umum terjadi adalah mual, muntah, pusing, sedasi, mulut kering, dan sakit kepala.Depresi pernapasan nampaknya kurang dibandingkan dengan dosis ekuianalgetik morfin, dan derajat konstipasinya kurang daripada dosis ekuivalen kodein.Tramadol dapat meyebabkan konvulsi atau kambuhnya serangan konvulsi. Depresi napas akibat tramadol dapat diatasi oleh nalokson akan tetapi penggunaan nalokson meningkatkan risiko konvulsi. Analgesia yang ditimbulkan oleh tramadol tidak dipengaruhi oleh nalokson.

Novalgin (dipyrone/ metamizole sodium)
Dipyrone (metamizole) adalah obat antiinflamasi non steroid. Mekanisme dipyrone sama denganobat-obat NSAID lainnya, yaitu menghambat produksi prostaglandin. Metamizole  Na  adalah  derivat  metansulfonat  dari  aminopirin  yang mempunyai khasiat analgesik. Mekanisme kerjanya adalah menghambat transmisi rasa sakit ke susunan saraf pusat dan perifer. Metamizole  Na  bekerja  sebagai  analgesik,  diabsorpsi  dari  saluran pencernaan mempunyai waktu paruh 1-4 jam.
Setelah pemberian oral, dipyrone dengan cepat dihidrolisis dalam saluran pencernaanmenjadi metabolit aktif 4-metil-amino-antipyrine.Dipyrone juga cepat tidak terdeteksi dalamplasma setelah pemberian secara intravena. Tak satu pun darimetabolit dipyrone secara luas terikat pada protein plasma.Sebagian besar diekskresikan dalam urin sebagai metabolit.
Dipyrone adalah sulfonat natrium dari aminophenazone.Karena risiko efek samping yang serius di banyak negara penggunaannya  hanya dalamrasa sakit yang berat atau demam di mana tidak tersedia obat alternatif tidak lain. Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan dipyrone adalah meningkatkan risiko agranulositosis.
III.             ALAT dan BAHAN
Alat  :  1. Timbangan hewan                           Bahan  :   1. Novagin 400 mg/kgbb, 500 mg/kgbb
            2. Alat suntik                                                      2. Tramadol 30mg/kgbb, 40mg/kgbb
            3. Kapas                                                              3. Alkohol
            4. Stopwatch                                                       4. Mencit 2 ekor
            5. Hotplate
            6. Gelas kimia
            7. Thermometer
         IV. PROSEDUR KERJA
Timbang masing-masing berat badan mencit, di beri tanda dan catat.Kemudian hitung VAO pada masing-masin mencit dengan menggunakan dosis dan konsentrasi obat yang digunakan.
·         Metode Jentik Jari
 Rangsang nyeri yang digunakan pada metode ini berupa air panas dengan suhu 50OC dimana ekor mencit dimasukkan ke dalam air panas, maka nanti mencit akan merasakan nyeri Panas yang ditandai dengan mencit menjentikkan (mengangkat) ekor keluar dari air panas tersebut.
1.   Ambil mencit yang telah ditimbang dan ditandai serta yang telah dihitung VAO nya.
2.   Sebelum mencit diberi obat, (a)  masukkan ekor mencit ke dalam air panas dengan suhu 50OC, tunggu hingga mencit menjentikkan (mengangkat) ekornya dan catat waktu lamanya mencit menjentikkan ekornya dengan stopwatch.
3.   Oleskan alkohol di bagian perut mencit dengan menggunakan kapas, dan suntikkan obat dengan dosis yang telah dikonversikan ke dosis mencit secara inta peritoneal.
4.   Pengamatan dilakukan pada menit ke 5, 15, 30 dan 60 setelah pemberian obat dengan prosedur (a).
5.   Buat tabel hasil pengamatan dengan lengkap
6.   Gambar kurva hubungan antara dosis yang diberikan terhadap respon mencit untuk stimulus nyeri.
·         Metode Pelat Panas (Hotplate)
Rangsang nyeri yang digunakan pada metode ini berupa hotplate yang panas dengan suhu  suhu 50-55OC dimana kaki mencit diletakkan ke atas hotplate, maka nanti mencit akan merasakan nyeri panas yang ditandai dengan mencit mengangkat kakinya atau lari dari hotplate dan menjilati kakinya. Rata-rata hewan mencit akan memberikan respon dengan metode ini dalam waktu 3 sampai 6 detik.
1.   Ambil mencit yang telah ditimbang dan ditandai serta yang telah dihitung VAO nya.
2.   Sebelum mencit diberi obat, (a)  letakkan mencit diatas hotplate panas dengan suhu 50-60OC, tunggu hingga mencit mengangkat kaki atau lari dari hotplate sebagai waktu respon dan catat waktu lamanya mencit menenerima respon dengan stopwatch.
3.   Oleskan alkohol di bagian perut mencit dengan menggunakan kapas, dan suntikkan obat dengan dosis yang telah dikonversikan ke dosis mencit secara inta peritoneal.
4.   Pengamatan dilakukan pada menit ke 5, 15, 30 dan 60 setelah pemberian obat dengan prosedur (a).
5.   Buat tabel hasil pengamatan dengan lengkap
6.   Gambar kurva hubungan antara dosis yang diberikan terhadap respon mencit untuk stimulus nyeri.

V.                DATA PERHITUNGAN
                       
Mencit 1                                  Mencit 2
Berat ember kosong : 250,5gr                294gr                                       288gr
                      
·         Berat mencit 1 : 250,5-294 = 43,5 gr
·         Berat mencit 2 : 250,5-288 = 37,5gr

Obat  Novalgin 500mg ,dengan konsetrasi obat 500mg/ml
1.      VAO = 0,0435 kg x 500 mg/KgBB = 0,0435 ml (hotplate)
500 mg/ml
2.      VAO = 0,0375 kg x 500 mg/KgBB = 0,0375 ml (tail flick)
500 mg/ml
NB : Lakukan perhitungan yang sama seperti diatas untuk memperoleh nilai VAO pada tramadol. Sehingga diperoleh data seperti dibawah ini.
VI.             DATA PENGAMATAN
1.      Tail Flick
Kelompok
BB (kg)
VAO (ml)
Obat yang Digunakan
Pengamatan Pada Menit ke- (detik)
0
5
15
30
45
60
1
0,0345
0,0276
Novalgin
3,33
4,00
4,44
 3,88
 4,56
2
2
0,03
0,024
Novalgin
10,93
2
6
5
4
1
3
 0,0375
0,0375 
Novalgin 
 2
6
6,57 
12,18 
10,01 
 3,37
4
0,0303
0,024
Tramadol
2,31
8
5,29
5,72
7,5
6,16
5
0,0365
0,0292
Tramadol
1
8,1
2,9
8,6
3,5
1,8
6
0,0345
0,0207
Tramadol
9.38
1.00
0.44
2.57
1.58
-

2.      Hot Plate
Kelompok
BB (kg)
VAO (ml)
Obat yang Digunakan
Pengamatan Pada Menit ke- (detik)
0
5
15
30
45
60
1
0,0355
0,0284
Novalgin
1,35 
1,23 
2,20 
1,20 
1,20 
2
0,0255
0,0204
Novalgin
2,4
2,4
0,6
2,5
1,4
0,7
3
 0,0435
0,0435 
Novalgin 
 1
2,2 
1
0,93 
0,89 
4
0,0331
0,026
Tramadol
0,88
0,64
0,7
0,58
0,7
2,23
5
0,0455
0,0292
Tramadol
1
1,95
1,39
0,94
0,66
0,91
6
0,0345
0,0207
Tramadol
7.87
7.12
4.86
2.48
3.37
2.97

      Grafik
1.      Jentik ekor




2.      Hot Plate


VII.          PEMBAHASAN
Pada percobaan kali ini dilakukan pengujian efek analgetik pada hewan percobaan yang bertujuan untuk mengukur kemampuan obat dalam hal ini adalah tramadol dan novalgin, untuk menghilangkan atau mencegah kesadaran sensasi nyeri.Sensasi nyeri ditimbulkan secara eksperimental dengan menggunakan metode hot plate dan jentik ekor.Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit.
Pada praktikum kali ini kita akan membandingkan efek dari obat Novalgin dan Tramadol yang berkhasiat sebagai analgesik. (perhatikan grafik diatas ). Dari data di atas diketahui bahwa pada  metode Tail Flick dan hot plate obat yang paling lama memberikan efek analgesik adalah Novalgin, karena pada obat ini mencit dapat merasakan respon nyeri lebih lama dari obat tramadol. Sedangkan berdasarkan literature, tramadol memiliki efek analgetik yang lebih kuat dari pada novalgin. Karena tramadol memiliki Bioavailabilitas yang lebih baik dari novalgin,yaitu pada dosis tunggal secara oral 68% dan 100% bila digunakan secara IM. Selain itu, waktu paruh dari tramadol lebih lama dari novalgin, pada tramadol waktu paruhnya adalah ± 6 jam dan waktu paruh novalgin hanya 1-4 jam.
Pada praktikum ini antara data dan literature terjadi perbedaan hasil.Menurut literature analgetik yang lebih kuat adalah tramadol dari pada novalgin sedangkan dari data praktikum analgetik yang lebih kuat adalah novalgin. Ketidaksamaan antara  data praktikum dengan literature ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain air yang digunakan untuk praktikum pada metode Tail Flick dan suhu hot plate tidak tepat pada suhu 50OC (bisa kurang atau lebih dari 50OC sehingga mencit dapat lebih cepat/lebih lambat menerima respon dari yang seharusnya, selain itu pada metode Tail Flick pemegangan mencit oleh praktikan tidak memberikan rasa nyaman pada mencit sehingga mencit lebih cepat menggerakkan ekornya dari waktu yang seharusnya. Faktor yang lainnya adalah kekurang telitian dari praktikan dalam proses pengamatan gerak mencit ketika menerima respon yang di berikan.
Berdasarkan data percobaan metode hot plate dan jentik ekor, dapat dilihat bahwa metode hot plate lebih sensitive dibandingkan dengan metode jentik ekor.Hal ini dapat disebabkan karena pada metode hot plate bagian tubuh yang menerima sensasi nyeri adalah kaki sedangkan pada metode jentik ekor bagian tubuh yang menerima sensasi nyeri adalah ekor.Adanya perbedaan reseptor nyeri inilah yang menyebabkan metode hot plate lebih sensitive dibandingkan dengan jentik ekor.Karena berdasarkan literature bagian kaki memiliki luas permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan ekor sehingga bagian kaki cenderung lebih cepat memberikan respon terhadap nyeri.
Berdasarkan hasil percobaan kelompok kami diperoleh hasil bahwa pada penggunaan novalgin dalam metode hot plate, mulai dari 0 menit setelah pemberian obat sampai menit ke-5 terjadi kenaikan dari efek obat analgesic.Hal tersebut terlihat dari semakin lama nya waktu yang dibutuhkan mencit untuk menahan sensasi nyeri.Sedangkan pada menit ke-15 sampai menit ke-60 terjadi penurunan efek dari obat analgesic, karena waktu yang dibutuhkan mencit untuk menahan sensasi nyeri semakin berkurang.Sedangkan penggunaan novalgin pada metode jentik ekor, penurunan efek analgesik terjadi pada menit ke-30 sampai menit ke-60.Penurunan dari efek analgesi tersebut membuktikan bahwa pada menit ke-15 – 30 telah terjadi eliminasi obat di dalam tubuh hewan percobaan.
Grafiknya sebagai berikut ; Berdasarkan data pengamatan kelompok 3

Selain factor perbedaan jenis obat dan metode analgetik bisa dipengaruhi oleh perbedaan pemberian dosis, semakin besar dosis maka efek menahan nyerinya juga semakin lama,begitu juga sebaliknya.Hal ini sesuai dengan data pengamatan diatas.

VIII.       KESIMPULAN
a.       Cara mengevaluasi efek analgesic bisa dilakukan dengan metode jentik ekor dan metode hot plate.
b.      Tramadol dan Novalgin, keduanya mempunyai efek analgesic.
c.       Waktu puncak Novalgin pada metode jentik ekor adalah menit ke-30, sedangkan pada metode hot plate adalah menit ke-15.
d.      Berbeda dari teori,hasil pengamatan penggunaan obat analgesic Novalgin mempunyai efek lebih bagus daripada Tramadol. Sehingga data percobaan tidak sesuai dengan teori.


  

IX.             Daftar Pustaka
·         Goodman and Gilman.2006.THE PHARMACOLOGICAL BASIS OF THERAPEUTICS-11th Ed
·         Mycek, J. Mary dkk.1995.Farmakologi Ulasan Bergambar.Jakarta: Widya Medika
·         .2007.Farmakologi dan Terapi.Jakarta : Gaya Baru
·         MartindaleEdisi 36