Selasa, 02 April 2013


BARBITURAT
            Barbiturat merupakan derivat asam barbiturat (2,4,6-Trioksoheksa-hidropirimidin). Asam barbiturate sendiri tidak menyebabkan depresi SSP, efek hipnotik sedatif dan efek lainnya ditimbulkan bila posisi 5 ada gugusan alkil atau aril. Barbiturat dapat mendepresi secara reversibel aktivitas semua jaringan yang dapat tereksitasi. Selama beberapa waktu barbiturate telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan sedatif.  Namun sekarang obat ini telah digantikan oleh banyak benzodiazepine yang lebih aman.
Mekanisme kerja barbiturat
Barbiturat mengganggu transport natrium dan kalium melewati membran sel yang mengakibatkan inhibisi aktivitas sistem retikular mesensefalik. Transmisi polisinaptik SSP  dihambat, barbiturat juga meningkatkan fungsi GABA memasukkan klorida ke dalam neuron, meskipun obatnya tidak terikat pada reseptor  benzodiazepine.
            Mekanisme yang mendasari kerja barbiturat pada reseptor GABAA berbeda dengan GABA atau benzodiazepin, suatu kesimpulan yang didasarkan pada pengamatan berikut :
1.      Barbiturat memperkuat/mendorong (bukan menggantikan/berkompetisi) ikatan benzodiazepin dengan reseptor GABAA.
2.      Barbiturat  mempotensiasikan arus klorida terinduksi-GABA dengan memperpanjang periode ketika terjadi lonjakan pembukaan saluran dan bukan peningkatan frekuensi lonjakan ini, seperti yang dilakukan benzodiazepine.
3.      Hanya subunit α dan β (bukan γ) reseptor/saluran yang diperlukan untuk kerja barbiturat.
4.      Peningkatan konduktansi klorida yang diinduksi oleh barbiturat tidak sensitive terhadap mutasi subunit β yang mengendalikan sensitivitas reseptor GABAA terhadap aktivitas oleh agonis.

Selain itu  barbiturat pada konsentrasi subanastetik juga dapat menurunkan induksi glutamat pada subtipe AMPA (memblokir reseptor AMPA) reseptor glutamat. Glutamat adalah neurotransmitter rangsang utama di SSP mamalia. Oleh karena itu, aktivasi reseptor GABAA inhibitor dan penghambatan reseptor AMPA eksitator oleh barbiturat dapat menjelaskan efek depresan SSP-nya.


Farmakodinamik
                Penggolongan barbiturat disesuaikan dengan lama kerja dari barbiturat tersebut. Misalnya thiopental yang bekerja dalam beberapa detik berfungsi hanya 30 detik, digunakan untuk induksi intravena anesthesia. Sebaliknya fenobarbital yang lama kerja lebih dari satu hari digunakan dalam pengobatan kejang sedangkan pentobarbital, sekobarbital dan amobarbital adalah barbiturat kerja pendek (berefek 3-8 jam) yang efektif sebagai sedatif dan hipnotik.
1.      Depresi SSP
Efek utama barbiturat ialah depresi  SSP.  Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai dari sedasi, hipnotis, berbagai tingkat anesthesia, koma sampai kematian. Pada dosis rendah, barbiturat menghasilkan sedasi (efek menenangkan, mengurangi eksitasi). Pada dosis tinggi, barbiturat menyebabkan hypnosis, diikuti oleh anesthesia (kehilangan rasa atau sensasi) koma dan akhirnya mati. Jadi semua tingkat depresi SSP dapat terjadi tergantung dengan pembarian dosisnya. Barbiturat tidak meningkatkan ambang nyeri dan tidak mempunyai efek analgetik bahkan dapat memperberat rasa nyeri.
2.      Pernafasan/respirasi
Barbiturat menyebabkan depresi napas yang sebanding dengan pemberian besar-kecilnya dosis. Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernafasan, sedangkan dosis hipnotik pada pemberian oral dapat menyebabkan pengurangan frekuensi dan amplitude napas, ventilasi alveoli berkurang sesuai dengan keadaan tidur fisiologis. Pemberian dosis yang tinggi pada oral atau suntikan intravena yang terlalu cepat menyebabkan depresi napas lebih berat.
3.      Induksi enzim (hati)
Barbiturat memacu enzim hati makrosomal P-450 yang dapat mempengaruhi biotransformasi obat lain dan substrat endogen seperti steroid, sebaliknya beberapa senyawa dapat menghambat biotransformasi barbiturat. Pemberian barbiturat secara terus-menerus dapat meningkatkan jumlah protein dan lemak pada retikuloendoplasmik hati, serta menaikkan aktivitas glukuronil transferse dan enzim oksidase sitokrom P450. Induksi enzim ini meningkatkan metabolisme beberapa obat dan senyawa endogen termasuk hormon steroid, kolestrol, garam empedu, vitamin K dan D. Efek induksi ini tidak hanya pada enzim makrosomal tetapi juga pada enzim mitokondria yaitu δ-Amino Levulanic Acid sintetase (ALA) dan enzim sitoplasma yaitu aldehid dehidrogenase. Barbiturat mengganggu sintesis porfirin (lewat enzim ALA-sintetase), pada penderita porfiria oabat ini dapat menimbulkan serangan yang mendadak yang sangat membahayakan.
4.      Efek pada tingkat tidur
Efek hipnotik barbiturat meningkatkan total lama tidur dan mempengaruhi tingkat tidur yang bergantung pada dosis.
5.      Sistem kardiovaskular
Pada dosis oral sedate-hipnotik barbiturat tidak berefek pada kardiovaskular. Jika diberikan dosis terapi secara intravena secara cepat dapat menyebabkan tekanan darah menurun secara mendadak meski hanya selintas. Dosis tinggi pada barbiturat dapat menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti vasodilatasi perifer  sehingga terjadi hipotensi. Selain itu disis yang sangat tinggi juga menyebabkan syok kardiovaskular.
6.      Saluran GI
Oksibarbiturat menurunkan tonus muskulatur GI dan amplitude kontraksi ritmik.tempat kerjanya sebagian di pusat dan sebagian di perifer, tergantung pada dosis yang di berikan. Dosis hipnotik tidak menunda pengosongan lambung.
7.      Ginjal
Oliguria atau anuria parah dapat muncul pada keracunan barbiturat akut, sebagian besar disebabkan oleh hipotensi.
Farmakokinetik
            Untuk penggunaan sedatif-hipnotik, barbiturat umumnya di berikan secara oral. Absorpsi terjadi dengan cepat dan hampir seluruhnya. Onset (waktu pertama kali memberikan efek) kerja bervariasi dari 10-60 menit tergantung dari senyawa dan formulasinya. Dan ditunda dengan adanya makanan di dalam lambung. Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan secara intravena untuk induksi anestesi umum pada orang dewasa dan anak – anak dan untuk mengatasi status epilepsi. Sedangkan phenobarbital atau sekobarbital intramuskular untuk premedikasi pada semua kelompok umur.
            Barbiturat yang biasanya digunakan anestesi (contohnya thiopental dan metoheksital) sangat larut lemak, dapat diberikan secara intravena maka akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini menyebabkan penurunan kadarnya dalam plasma dan otak secara cepat yang menyebabkan pasien sadar dalam waktu 5-15 menit setelah penyuntikan dengan dosis anestetik. Setelah lemak mengalami kejenuhan terjadi redistribusi ke aliran sistemik, akibatnya pemulihan setelah pemberian barbiturat sangat larut lemak memerlukan waktu yang lama. Kecuali barbiturat yang sukar larut lemak (aprobarbital dan fenobarbital), barbiturat di metabolisme di dalam hati sebelum di ekskresi lewat ginjal. Oksidasi gugus atom C-5 merupakan metabolisme yang dapat menghentikan aktivitas biologisnya, diamana oksidasi ini menyebabkan terbentuknya alcohol, keton, fenol, asam karboksilat yang diekskresikan melalui urin.
            Eliminasi obat lebih cepat berlangsung pada orang muda (dewasa) dari pada orang tua dan anak-anak. Waktu paruh meningkat selama kehamilan dan penyakit hati kronik. Pemberian berulang (fenobarbital)dapat mempersingkat waktu paruh akibat induksi enzim mikrosomal.
            Barbiturat digunakan sebagai sedatif-hipnotik tidak memiliki waktu paruh yang cukup singkat untuk dieliminasi secara sempurna dalam 24 jam. Barbiturat akan diakumulasi selama pemberian berulang, kecuali jika dilakukan penyesuaian dosis. Selain itu, lamanya obat menetap dalam plasma sepanjang hari mendorng terjadinya toleransin dan penyalahgunaan obat.
Efek samping
1.       Sistem Saraf Pusat   : menyebabkan kantuk, konsentrasi terganggu, kelesuan mental dan fisik.
2.       “Hangover” Obat     : dalam dosis hipnotik menimbulkan perasaan lesu setelah pasien bangun kembali. “Hangover” obat ini menyebabkan beberapa fungsi tubuh yang normal terganggu beberapa jam setelah pasien terbangun. Kadanga dapat terjadi mual dan pusing.
3.       Pasien porfiria           : karena memacu sistem P-450 dan menurunkan efek obat lainyang dimetabolisme oleh enzim di hati. Barbiturat meningkatkan sintesis porfirin.
4.       Ketergantungan       : penghentian barbiturat secara mendadak menyebabkan tremor, ansietas, lemah, gelisah, mual dan muntah, kejang, delirium dan jantung berhenti.
5.       Keracunan                  : karena menyebabkan depresi pernafasan yang hebat bersamaan depresi kardiovaskularpusat yg dapat menimbulkan syok dengan pernafasan yang dangkal dan lambat. Pengobatan dapat dilakukan dengan respirasi artificial dan kurasan isi lambung jika obat baru diminum.hemodialisis mungkin diperlukan jika obat yang diminum cukup banyak. Alkalinisasi urin sering membantu pengeluaran fenobarbital.











Jumat, 19 Oktober 2012

rinduku


Ayahku inspirasiku
by Farida Kusumaningrum



Terbesit wajah ,lama tak bertemu
Tapi Lama terukir dalam kalbu
Mewarnai hidupku
Mengisi hari-hariku
Walaupun tak menemani hingga dewasaku
Dan di akhir hidupku

Beliau  meninggalkan kenangan
Hingga berbuah kesenangan
Rasa rindupun aku ungkapkan
Lewat kata-kata tak bermakna
Itupun tak tersampaikan
Mungkin hanya secercah harapan terkabulkan

Bayanganmu
Senyumanmu
Ajaranmu
ketegaranmu
tuturkata lembutmu
Itulah bekal dalam hidupku
Ayahku engkaulah inspirasiku


Rabu, 03 Oktober 2012


PENGENDAPAN PROTEIN PLASMA


Dasar teori
            Penelitian farmakokinetik melibatkan penentuan kadar obat dalam sampel biologis. Metode analisis yang digunakan untuk penentuan kuantitatif kadar obat dalam suatu sampel biologis merupakan hal yang sangat penting dalam evaluasi dan interpretasi data farmakokinetika.
            Berbagai sampel biologis dapat diambil untuk penentuan kadar dalam tubuh untuk penelitian farmakokinetik, sebagai contoh darah, urine, feses, saliva, jaringan tubuh, cairan blister, cairan spinal dan cairan sinovial.
            Penentuan kadar suatu obat dalam sampel biologis merupakan hal yang kompleks disebabkan sampel biologis pada umumnya merupakan suatu matriks yang kompleks. Jika suatu obat atau metabolitnya dalam sampel biologis dapat dianalisa langsung tanpa perlu dilakukan perlakuan awal terhadap sampel yang diperoleh maupun pemisahan obat atau metabolit yang ditentukan maka hal ini merupakan suatu hal yang menguntungkan. Akan tetapi perlakuan awal sampel maupun isolasi obat atau metabolit yang akan ditentukan dari matriks biologis yang diperoleh harus dilakukan.
            Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan perlakuan awal sampel maupun metode untuk memisahkan atau mengisolasi obat dan/atau metabolitnya adalah tahapan dari prosedur yang dipilih harus seminimal mungkin untuk menghindari kehilangan obat dari obat atau metabolit yang akan ditentukan. Semakin panjang tahapan prosedur untuk perlakuan awal maupun untuk memisahkan atau mengisolasi obat atau metabolitnya makin besar kemungkinan hilangnya obat atau metabolit yang akan ditentukan sepanjang prosedur yang dilakukan.
            Darah merupakan sampel biologis yang paling umum digunakan dan mengandung berbagai komponen seluler seperti sel darah merah, sel darah putih, platelet,dan berbagai protein seperti albumin dan globulin. Pada umumnya bukan darah utuh (whole blood) tetapi plasma ataupun serum yang digunakan untuk penentuan kadar obat. Serum diperoleh dengan membiarkan darah untuk menggumpal dan supernatant yang dikumpulkan setelah sentrifugasi  adalah serum. Sedangkan plasma diperoleh dengan penambahan antikoagulan pada darah yang diambil dan supernatant yang diperoleh setelah sentrifugasi merupakan plasma. Jadi, plasma dan serum dibedakan dari protein yang dikandungnya.
            Adapun kandungan protein dalam sampel biologis yang akan dianalisa menyebabkan dibutuhkannya suatu tahap perlakuan awal dan/atau penyiapan sampel sebelum penentuan kadar obat dapat dilakukan. Hal ini untuk mengisolasi atau memisahkan obat yang akan diteliti dari matriks sampel yang diperoleh. Protein, lemak, garam dan senyawa endogen dalam sampel akan mengganggu penentuan kadar obat yang bersangkutan dan selain itu dalam hal analisa menggunakan metode seperti HPLC adanya zat-zat tersebut dapat merusak kolom HPLC sehingga usia kolom menjadi lebih singkat.
            Berbagai prosedur untuk mendenaturasi protein dapat digunakan sebagai perlakuan awal sampel biologis yang diperoleh dari suatu oenelitian farmakokinetik, meliputi penggunaan senyawa yang disebut sebagai zat pengendap protein (protein precipitating agent) seperti asam tungstat, amonium sulfat, asam trikoroasetat (tricloro acetic acid, TCA) asam perklorat, methanol dan asetonitril. Pengendapan protein dilakukan dengan denaturasi protein. Denaturasi dapat dilakukan akibat adanya perubahan pH, temperature, dan penambahan senyawa kimia. Cara denaturasi protein yang umum digunakan adalah dengan penambahan precipitating agent. Protein dapat diendapkan karena memiliki berbagai sifat diantaranya bersifat sebagai amfoter yakni memiliki 2 muatan yang berlainan dalam 1 molekul, atau yang dikenal juga sebagai zwitter ion. Sifat ini membuat potein memiliki muatan yang berbeda pada pH yang berbeda pula. Akibatnya protein dapat larut pada rentang pH tertentu dimana protein bermuatan. Suatu saat di pH tertentu protein akan mencapai titik isoelektrik, yakni pH dimana jumlah total muatan protein sama dengan nol (muatan positif sebanding dengan muatan negatif), hal ini akan mempengaruhi kelarutan protein. Pada titik isoelektrik, kelarutan protein sangat rendah, sehingga potein dapat mengendap.
            Selain itu, protein juga dapat membentuk ikatan dengan logam dimana beberapa asam amino dapat terikat pada satu logam sehingga molekulnya menjadi besar, beratnya juga menjadi besar sehingga potein mengendap. Selain itu terdapat juga beberapa sifa lain yang berhubungan dengan presipitasi protein ini yang dijelaskan pada mekanisme pengendapan oleh masing-masing reagen.
            Penggunaan pelarut organik seperti methanol dan asetonitril sebagai zat pengendap protein sangat umum digunakan terutama yang melibatkan metode analisis HPLC. Pengendapan ini berkaitan dengan pI protein, dimana semakin jauh dari titik isoelektrik maka kelarutan akan semakin meningkat dan semakin dekat dengan titik isoelektrik maka kelarutan akan semakin menurun. Penambahan larutan organik seperti metanol ataupun asetonitril pada larutan protein dalam air akan menurunkan Kd (Konstanta Dielektrik) pelarut/air yang meningkatkan tarikan antara molekul-molekul bermuatan dan memfasilitasi interaksi elektrostatik protein. Selain itu pelarut organik ini juga akan menggantikan beberapa molekul air di sekitar daerah hidrofob dari permukaan protein yang berasosiasi dengan protein sehingga menurunkan konsentrasi air dalam larutan dengan demikian kelarutan protein akan menurun dan memungkinkan terjadinya pengendapan. Penggunaan methanol dan asetonitril mempunyai suatu keuntungan karena kompabilitasnya dengan berbagai eluen yang digunakan dalam metode HPLC.
            Metode isolasi atau pemisahan obat yang banyak digunakan dalam penelitian farmakokinetik adalah ekstraksi padat-cair (solid-phase extraction) dan ekstraksi cair-cair. Ekstraksi padat-cair menggunakan cartridge khusus untuk memisahkan obat dari sampel dengan volume relatif lebih kecil (0.5-1mL) yang tersedia secara kom ersial dengan harga yang cukup mahal. Ekstraksi cair-cair merupakan suatu metode yang paling banyak digunakan karena relatif cepat,simpel, dan murah dibandingkan dengan ekstraksi padat-cair. Baik metode ekstraksi cair-cair maupun padat-cair pada umumnya diikuti dengan proses pemekatan obat yang akan dianalisa. Pemilihan pelarut pengekstraksi dalam ekstraksi cair-cair harus didasarkan pada sifat fitokimia obat maupun metabolit yang akan diisolasi. Berbagai faktor dapat menjadi pertimbangan dalam seleksi pelarut yang akan digunakan antara lain:
·         Immisible (tidak bercampur) dengan air.
·         Mempunyai kemampuan melarutkan obat yang diinginkan dalam jumlah yang besar sehingga memberikan nilai recovery yang besar.
·         Mempunyai titik didih yang relatif rendah sehingga waktu evaporasi pelarut dapat lebih singkat.
·         Sedapat mungkin volume yang digunakan untuk ekstraksi adalah minimal sehingga akan menekan biaya yang dikeluarkan.
·         Jika memungkinkan gunakan pelarut dengan berat jenis yang lebih kecil dari berat jenis air sehingga proses pemisahan pelarut organik akan lebih mudah karena pelarut organik akan berada pada lapisan atas.
            Dalam proses ekstraksi tentu saja diharapkan perolehan kembali (recovery) obat yang akan diteliti dari matriks sampel yang diperoleh adalah sebesar mungkin, jika mungkin adalah 100%. Berbagai pendekatan dapat digunakan untuk mendapatkan perolehan kembali yang sempurna, seperti penggunaan volume pelarut pengekstraksi dalam jumlah yang besar ekstraksi berulang (repeat extraction) atau ekstraksi bertahap (multistep extraction). Pada ekstraksi berulang sampel yang sama diekstraksi beberapa kali menggunakan pelarut baru sampai seluruh obat terekstraksi. Sedangkan pada ekstraksi bertahap dilakukan beberapa tahap ekstraksi menggunakan pelarut dengan pH yang berbeda. Akan tetapi 100% perolehan kembali pada umumnya tidak dapat diperoleh sehingga perlu ditentukan perolehan kembali yang optimal dengan mempertimbangkan jumlah obat telah cukup terekstraksi untuk memenuhi sensitifitas analisa, jumlah pelarut yang digunakan berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan dan juga waktu untuk melakukan keseluruhan proses ekstraksi termasuk evaporasi pelarut organik yang diperoleh. Perolehan kembali obat dari matriks biologis sampai serendah 50% masih dapat diterima dengan catatan parameter lain seperti sensitifitas,  presisi, akurasi dan selektifitas memenuhi standard umum yang berlaku.

Alat dan bahan
Alat :
1.      Vortex
2.      Sentrifus
3.      Rotari evaporator vakum
4.      Tabung ependorf
5.      µL Pipet

Bahan :
1.      Zat pengendap protein (TCA, Metanol, Asetonitril)
2.      Plasma

 Prosedur Kerja
A.    Presipitasi Protein I
a.       Pipet 500 µL plasma blanko ke dalam tabung ependorf.
b.      Tambahkan zat pengendap protein yang tersedia dengan perbandingan yang sesuai
c.       Vortex selama ± 15 detik
d.      Sentrifus dengan kecepatan 10.000 g selama 2 menit
e.       Amati supernatant dan endapan yang diperoleh dan bandingkan hasil yang diperoleh menggunakan berbagai zat pengendap protein yang digunakan.
f.       Pisahkan supernatant yang diperoleh.
B.     Ekstraksi cair-cair
a.       Pipet 500 µL olasma balanko ke dalam 3 tabung sentrifus
b.      Tambahkan pelarut pengekstraksi : asetonitril sebanyak 1 ml ke dalam tabung 1 dan metanol sebanyak 1 ml ke dalam tabung 2 kemudian vortex 15 detik.
c.       Sentrifus dengan kecepatan 3500 g selama 5 menit.
d.      Pisahkan supernatant yang diperoleh ke dalam tabung sentrifus yang baru.
e.       Tambahkan TCA kesetiap tabung sebanyak 1 mL.
f.       Sentrifus dengan kecepatan 3500 g selama 5 menit.
g.      Uapkan pelarut organik di bawah vakum.

Data Pengamatan
A.    Presipitasi Protein                                                       B.  Exraksi Cair-cair
Semple
Absoban
Panjang
Gelombang
Metanol
2,5
229 nm
Asetonitril
2,32
214 nm
TCA
1,29
273 nm
Semple
Absoban
Panjang
Gelombang
Metanol
0.4
272 nm
dan TCA
Asetonitril
0.3
270 nm
dan TCA







Pembahasan
Pada percobaan kali ini, digunakan sampel plasma blanko dan zat pengendap protein atau pelarut organik  yaitu  metanol, TCA (tri cloro asetat) dan asetonitril. Metode yang digunakan adalah ekstraksi cair-cair. Langkah awal yang dilakukan dalam percobaan ini adalah presipitasi protein dengan mencampurkan 100 µL plasma blanko dengan ke tiga zat pengendap protein yang ada yaitu metano,TCA, dan Asetonitril. Setelah dicampurkan ke dalam 3 tabung ependrof  yang berbeda lalu sediaan itu divortex selama 15 menit dan disentrifuge selama 2 menit dengan kecepatan 10.000 g dengan tujuan ketika disentrifuga (dipusingkan) dengan kecepatan tinggi, maka komponen-komponen penyusun darah itu akan terpisah ke dalam lapisan-lapisan. Komponen lebih berat (bagian padat seperti sel-sel darah) didorong ke dasar tabung. Sementara yang lebih ringan seperti plasma terapung di lapisan atas. Lalu pisahkan supernatan yang diperoleh dengan tabung yang baru lagi, selanjutnya dihitung nilai absorban dari tiap tabung dengan spektrofotometer.
Selanjutnya langkah berikut dengan metode ekstraksi cair-cair,pipet 500 µL plasma lalu masukkan ke dalam tabung sentrifuge, tambahkan dengan zat pengekstraksi 1 mL Asetonitril ke dalam tabung 1 dan 1 mL metanol ke dalam tabung 2. Sediaan tersebut divortex selama 15 menit dan disentrifuge dengan kecepatan 3500 g selama 5 menit, pisahkan supernatan ke dlam tabung baru lalu tambahkan TCA ke setiap tabung sebanyak 1 mL, sentrifuge lagi dengan kecepatan dan waktu yang sama. Selanjutnya dipisahkan lagi supernatan yang diperoleh ke dalam tabung yang baru. Selanjutnya dihitung nilai absorbannya dengan spektrofotometer.
Setelah dihitung nilai absorbansinya diperoleh data sebagai berikut ; plasma adalah dengan zat pengendap protein tricloro asetat karena mempunyai niali absorbansi yang paling kecil yaitu 1,3 sedangkan untuk metanol nilai absorbansinya 2,5 dan asetonitril nilai absorbansinya 2,31. Untuk yang ekstraksi cair-cair diperoleh nilai absorbansi metanol + TCA yaitu 0,4 sedangkan Asetonitril +TCA adalah 0,3.
Hal ini membuktikan bahwa, semakin tinggi nilai absorbansinya maka makin banyak kadar protein yang ada di dalam sediaan tersebut. sedangkan pada praktikum kali ini diharapkan denaturasi pada protein (yang menunjukkan nilai absorbansi yang paling rendah) dan dari data, bahwa TCA adalah pelarut organik atau zat pengendap protein yang paling baik karena nilai absorbansinya paling kecil yaitu 1,3. Karena  TCA dapat  menghentikan jalannya reaksi hidrolisis dengan cara mendenaturasi enzim karena sifat TCA adalah asam. Reagen ini menghentikan reaksi enzimatis karena sifatnya yang asam sehingga enzim menjadi inaktif dan kehilanagan fungsi katalitiknya. Sedangkan untuk ekstraksi cair-cair diperoleh zat yang paling baik adalah asetonitril dengan TCA yaitu 0,3. Ini membuktikan pada praktikum ini bahwa menggunakan 2 pelarut organic lebih efektif untuk mengendapkan protein
Protein dapat diendapkan karena memiliki berbagai sifat diantaranya bersifat sebagai amfoter yakni memiliki 2 muatan yang berlainan dalam 1 molekul, atau yang dikenal juga sebagai zwitter ion. Sifat ini membuat protein memiliki muatan yang berbeda pada pH yang berbeda pula. Akibatnya protein dapat larut pada rentang pH tertentu dimana protein bermuatan. Suatu saat di pH tertentu protein akan mencapai titik isoelektrik, yakni pH dimana jumlah total muatan protein sama dengan nol (muatan positif sebanding dengan muatan negatif), hal ini akan mempengaruhi kelarutan protein. Pada titik isoelektrik, kelarutan protein sangat rendah, sehingga potein dapat mengendap.
Selain itu, protein juga dapat membentuk ikatan dengan logam dimana beberapa asam amino dapat terikat pada satu logam sehingga molekulnya menjadi besar, beratnya juga menjadi besar sehingga potein mengendap. Selain itu terdapat juga beberapa sifat lain yang berhubungan dengan presipitasi protein ini yang dijelaskan pada mekanisme pengendapan oleh masing-masing reagen. Karena sesungguhnya TCA itu adalah agen presipitasi atau agen pengendapan yakni ion negatif dari TCA akan bergabung dengan protein yang sedang berada pada kondisi sebagai kation (pH larutan dalam kondisi asam hingga pH isoelektrik protein) hingga membentuk garam protein. Beberapa garam yang dihasilkan tersebut tidak larut dengan demikian metode ini dapat digunakan untuk memisahkan protein dari larutan. Umumnya agen presipitasi akan melarut sedangkan garam protein akan terdekomposisi dengan adanya penambahan basa (membentuk protein yang bermuatan negatif atau anionic protein).
Metanol dan Asetonitril juga merupakan pelarut organik yang dapat mengendapkan protein. Pengendapan ini berkaitan dengan pH protein, dimana semakin jauh dari titik isoelektrik maka kelarutan akan semakin meningkat dan semakin dekat dengan titik isoelektrik maka kelarutan akan semakin menurun. Penambahan larutan organik seperti metanol ataupun asetonitril pada larutan protein dalam air akan menurunkan Kd (Konstanta Dielektrik) pelarut/air yang meningkatkan tarikan antara molekul-molekul bermuatan dan memfasilitasi interaksi elektrostatik protein. Selain itu pelarut organik ini juga akan menggantikan beberapa molekul air di sekitar daerah hidrofob dari permukaan protein yang berasosiasi dengan protein sehingga menurunkan konsentrasi air dalam larutan dengan demikian kelarutan protein akan menurun dan memungkinkan terjadinya pengendapan. Pada hasil percobaan diperoleh bahwa keefektifan pelarut organik metanol lebih besar dibandingkan dengan asetonitril.
Ekstraksi cair-cair merupakan salah satu metode untuk melakukan pengendapan protein, Proses ini digunakan secara teknis dalam skala besar misalnya untuk memperoleh vitamin, antibiotika, bahan-bahan penyedap, produk-produk minyak bumi dan garam-garam, logam. Proses inipun digunakan untuk membersihkan air limbah dan larutan ekstrak hasil ekstraksi padat cair.
Ekstraksi cair-cair terutama digunakan, bila pemisahan campuran dengan cara destilasi tidak mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan aseotrop atau karena kepekaannya terhadap panas) atau tidak ekonomis. Seperti ekstraksi padat-cair, ekstraksi cair-cair selalu terdiri atas sedikitnya dua tahap, yaltu pencampuran secara intensif bahan  pada saat pencampuran terjadi perpindahan massa, yaitu ekstrak meninggalkan pelarut yang pertama (media pembawa) dan masuk ke dalam pelarut kedua (media ekstraksi). Sebagai syarat ekstraksi ini, bahan ekstraksi dan pelarut tidak saling melarut (atau hanya dalam daerah yang sempit). Agar terjadi perpindahan masa yang baik yang berarti performansi ekstraksi yang besar haruslah diusahakan agar terjadi bidang kontak yang seluas mungkin di antara kedua cairan tersebut. Untuk itu salah satu cairan distribusikan menjadi tetes-tetes kecil (misalnya dengan bantuan perkakas pengaduk).


Kesimpulan
1.     Protein dapat mengganggu dalam penentuan kadar obat dalam proses analisa.
2.     Protein dapat merusak kolom HPLC.
3.     Semakin tinggi absorbansi maka semakin tinggi pula kadar protein di dalam larutan
4.     Zat pengendap protein paling baik adalah TCA (tricloro asetat) dengan nilai absorbansi sebesar 1,3.
5.     Campuran zat protein yang paling baik adalah asetonitril dengan TCA dengan nilai absorbansi  0,3.
6.     Campuran zat pengendap lebih efektif dalam mendenaturasi protein daripada menggunakan zat pengendap secara tunggal.

Daftar Pustaka
Anna Poedjiadi, 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Penerbit UI-Press: Jakarta.
Lehninger.A.L, 1995. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga, Jakarta
Winarno, F. G., 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit Gramedia: Jakarta.